Minggu, 21 April 2013

Perjuangan Kartini Yang Dilupakan Penerus Bangsa

JIKA dilakukan survey terhadap generasi muda yang ada di Bandar Lampung saja mungkin tidak banyak masyarakat, khususnya, generasi muda sekarang yang ingat bahwa 21 April sekarang ini adalah hari lahirnya Raden Ajeng Kartini. Mengapa penulis dapat beranggapan demikian?

Seperti yang kita ketahui bersama, prilaku generasi muda kini yang seakan-akan cuek terhadap sejarah seperti ini kini mulai lah tampak. Kesan cuek dan masa bodoh lebih mereka tonjolkan, sifat hedonis dan hura-hura yang masih sangat dominan ada pada pribadi generasi kita sekarang mungkin adalah salah satu sebab faktor yang mengakibatkan itu semua. Padahal, jika merenung sejenak akan banyak sekali hikmah dan pelajaran yang bisa kita petik dari sekian banyak sejarah yang ada di tubuh bangsa ini.

Presiden pertama kita, Ir. Soekarno misalkan pernah berpesan dengan mengungkapkan kata-kata yang familiar ditelinga kita yaitu Jas Merah yang berarti jangan sekali-kali melupakan sejarah. Melalui ungkapan yang padat akan makna ini sesungguhnya Bung Karno ingin tetap mengajak warga Negara Indonesia untuk selalu ingat dan mengambil pelajaran dari setiap sejarah yang ada pada negeri ini baik itu sejarah kecil maupun sejarah besar.

Kasus yang sempat menghebohkan beberapa hari yang lalu, baik itu kasus Century atau kasus kerusuhan di Tanjung Priok terkait penggusuran makam Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad dan kasus yang lainnya adalah sejarah kecil yang bisa kita jadikan pelajaran berharga, terlebih lagi sejarah-sejarah yang memang tergolong besar untuk selalu kita ingat seperti hari Proklamasi dan lainnya tak terkecuali hari ini, hari lahirnya Kartini. Pertanyaannya sekarang, apa yang bisa kita petik dari setiap tahun peringatan Kartini ini?

Bukan menjadi rahasia umum lagi, setiap perayaan Kartini setiap sekolah atau yang lainnya hanyalah menyelenggarakan ceromoni belaka tanpa ada makna yang bisa kita ambil. Dari tahun ke tahun perayaan tersebut biasanya lebih ditekankan kepada perempuan untuk mengikuti gaya berpakaian Kartini yang khas semasa dahulu dengan kebaya dan sanggulnya. Akan tetapi sangat disayangkan hikmah yang sebenarnya terkadang kuranglah tersampaikan kepada masyarakat khususnya perempuan Indonesia. Padahal lebih dari itu semua, banyak sekali pelajaran yang bisa kita petik dari Kartini.

Peduli sesama adalah salah satu yang bisa kita pelajari dari RA. Kartini. Jika dahulu, daya pikir perempuan tidak dapat berkembang sebagaimana mestinya karena tidak adanya kesempatan untuk dapat belajar membaca dan menulis maka putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara ini ketika itu telah berpikiran bagaimana membebaskan kaum wanita atas keterbelakangannya dari kaum pria, terlebih lagi untuk memajukan pendidikan kaum wanita agar bisa memperbaiki kedudukanya suatu hari nanti.

Maka dari itu semua, action yang dilakukan oleh Kartini ialah membicarakan dengan teman sejawatnya dalam surat-surat yang ditulis sejak tahun 1899 yang menjelaskan minimnya pendidikan dan pengajaran bagi kaum perempuan pribumi sehingga jerih payahnya terbayar sudah ketika tahun 1912 berdiri sekolah Kartini di Semarang.

Melihat itu semua maka tak ada salahnya di era dunia tanpa batas ini kini kita sebagai generasi muda Indonesia untuk kembali memikirkan sejawat karena masih banyak sekali terkhususnya perempuan yang menyandang “gelar” buta huruf. Padahal Kartini telah memperingatkan bahwa perempuan adalah sumber peradaban yang harus mampu mendidik anak-anaknya. “Perempuan sebagai sumber peradaban…bahwa dialah yang paling dapat membantu meninggikan kadar kesusilaan manusia. Dari perempuanlah manusia itu pertama-tama menerima pendidikan, dan bagaimanakan Ibu-Ibu Bumi Putera dapat mendidik anak-anaknya, kalau mereka sendiri tidak berpendidikan?” (Suratnya kepada Nyonya MCE Ovink-Soer, 2 November 1900 dalam Sulastin, 1977 ; 76 (Dri Arbaningsih ; 2005)

Selain itu, selain peduli sesama, dari Kartini juga kita bisa petik pelajaran untuk selalu berada dijalan yang benar. Tak takut mengkritik ketika dimatanya terjadi sebuah kesalahan sehingga terciptalah ketidakadilan khususnya bagi kaum perempuan adalah musuh utama dari Kartini. Lihat saja dari tulisan yang tertuang didalam pemikiran-pemikirannya terutama yang terkait dengan kondisi sosial ketika itu dimana sebagian besar mengeluhkan dan menggugat khususnya menyangkut budaya jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan tak lepas dari kritikan pedasnya.

Pandangan kritis lainnya pun sering diungkapkan Kartini dalam mengkritik agamanya terkait dengan poligami. Baginya lengkap sudah penderitaan perempuan, Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Kartini mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti.”….Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa manusia diperbuat orang atas nama agama itu…..”. Beranjak dari itu semua Kartini selalu menyuarakan ketidakadilan tersebut dengan cara meminta keadilan sehingga kesetaraan gender atau yang dikenal dengan emansipasi wanita bermunculan.

Jika kita transformasikan ke dalam konteks ke kini sepertinya apa yang dicita-citakan Kartini sebagai kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan mungkin sudah mulailah tampak. Lihat saja, di dunia politik telah cukup banyak bermunculan perempuan-perempuan tangguh yang mampu duduk menjadi wakil rakyat atau yang lainnya. Bahkan niat baik untuk menjadi pemimpin Negara dan lainnya pun kini sedikit banyak telah lah bermunculan. Tak hanya itu di dunia karier juga tak kalah habisnya. Intinya kini apa yang telah dicita-citakan oleh Kartini sedikit banyak memang telah terpenuhi. Namun apakah perjuangan Kartini cukup sampai kini saja?

Apa yang telah dilakukan Kartini semasa hidupnya sesungguhnya patutlah menjadi teladan bagi kita semua, baik kaum perempuan maupun pria. Karena pada dasarnya perjuangan mewujudkan kesetaraan gender berkeadilan merupakan tanggungjawab bersama. Spirit yang digelorakan Kartini patut terus dilanjutkan, tanpa harus meninggalkan kodrat alam masing-masing dan peran utama sebagai pendidik dalam keluarga. Semoga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar